News
Kisah Pilu Keluarga Wayan Agus: Antara Harapan dan Derita sakit Hemofilia (sel darah putih)yang Tak Kunjung Usai
Sabtu, 28 September 2024
Penderita sakit hemofilia di mulung
Gianyar, – Sabtu itu, 28/9 di bawah langit yang seakan turut menunduk sedih, Wayan Agus Ariawan (30) tampak memendam beban hidup yang begitu berat. Ia duduk termenung di teras rumahnya yang sederhana, mengingat kenangan akan adik tercinta, I Made Yoga, yang telah berpulang seminggu lalu. Yoga, di usianya yang masih muda, 25 tahun, menyerah pada penyakit hemofilia penyakit yang membuat tubuhnya kekurangan sel darah putih dan kanker yang melahap perlahan raganya yang rapuh.
Dalam suaranya yang bergetar, Wayan Agus menceritakan kepada redaksi Newsyess kisah memilukan keluarga kecilnya yang dilanda sakit dan kemiskinan. “Adik saya dan saya menderita hemofilia sejak lahir. Setiap minggu kami harus membawa dia ke rumah sakit. Tak ada pilihan lain. Hemofilia, seperti diabetes, tak bisa sembuh. Luka kecil saja bisa jadi ancaman besar bagi hidupnya,” ujar Wayan Agus, matanya berkaca-kaca.
Nu Ketut Sukerti (50), sang ibu, adalah seorang perempuan yang selama ini menghidupi keluarganya dengan pekerjaan serabutan. Bersama suaminya, I Wayan Nadri (56), mereka berjuang keras memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan serabutan yang tak tentu, upah yang sedikit, serta keadaan kesehatan yang semakin memburuk membuat keluarga ini terpuruk. “Kami hidup serba kekurangan, saya hanya bisa bekerja seadanya. Kadang membuat porosan (sesajen), kadang menjadi buruh harian. Tapi tak banyak yang bisa kami peroleh,” kata Ibu Sukerti, air mata menetes dari pipinya yang keriput.
Kepergian Made Yoga adalah pukulan yang sangat berat bagi keluarga ini. Wayan Agus mengenang betapa besar perjuangan adiknya yang tak hanya harus bertahan dengan hemofilia, tapi juga kanker yang menyerang tubuhnya. “Kakinya membengkak, tumor di perutnya semakin membesar. Setiap hari dia menahan sakit yang tak tertahankan,” kenangnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Bagi keluarga ini, biaya pengobatan memang dibantu oleh pemerintah melalui BPJS. Namun, keterbatasan ekonomi membuat mereka tetap bergulat dengan kesulitan. Setiap hari, Ibu Sukerti dan Wayan Agus berharap ada keajaiban, agar setidaknya mereka dapat bertahan di tengah badai derita ini. “Kami pernah menerima bantuan sembako dari pemerintah, tapi itu tak cukup. Kami butuh bantuan lebih untuk bertahan, apalagi setelah kehilangan Yoga,” ucap Wayan Agus lirih.
Sang ibu, Nu Ketut Sukerti, tak kuasa menahan air matanya saat berbicara tentang beban yang harus dipikulnya. “Saya sudah tak kuat lagi. Hidup kami sangat sulit. Dari dulu kami harus berjuang dengan penyakit ini, dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Sekarang anak saya sudah tiada. Apa yang tersisa hanyalah harapan... Harapan agar ada yang peduli dan membantu kami keluar dari kesulitan ini,” katanya sambil terisak, matanya memandang langit yang seolah tak pernah memberinya jawaban.
Wayan Agus sendiri, dengan segala keterbatasannya, tetap mencoba bertahan dan melanjutkan hidup. Namun, dengan beban ekonomi yang semakin berat, ia tak bisa berjalan jauh. “Saya berharap ada yang mau membantu kami. Bantuan apapun sangat berarti bagi kami. Sekarang kami hanya mengandalkan diri sendiri dan berdoa. Mungkin, suatu saat Tuhan mendengar doa kami,” tutupnya dengan mata yang berkilat oleh harapan yang tak kunjung padam.
Kisah keluarga Wayan Agus Ariawan bukanlah satu-satunya di negeri ini, namun adalah cermin betapa banyak kehidupan yang harus terus berjuang di tengah keterbatasan dan kesakitan. Di balik setiap air mata yang tumpah, ada harapan yang terus menyala. Dan dalam setiap harapan, selalu ada ruang bagi kita semua untuk peduli.(TimNewsyess)
Penulis : Tim Klungkungnews
Polling Dimulai per 1 Maret 2024
Polling Dimulai per 1 Maret 2024